Opini

Gelombang Kritik Publik Menguat, Aktivitas PT STM Dipertanyakan di Tengah Krisis Lingkungan

Dompu, global aktual – Sorotan publik terhadap aktivitas PT Sumbawa Timur Mining (STM) kembali menguat. Kritik keras kali ini datang dari akun media sosial Bukhari, yang suaranya bergema luas dan dianggap mewakili kegelisahan masyarakat atas proyek-proyek ekstraksi sumber daya alam yang dinilai berpotensi mengancam lingkungan serta ruang hidup warga.

Dalam sejumlah unggahan yang ramai diperbincangkan, Bukhari menilai bahwa proyek berskala besar yang dijalankan PT STM kerap dikemas dengan janji kesejahteraan, namun pada praktiknya justru meninggalkan dampak sosial dan ekologis yang panjang. Kritik tersebut mencuat di tengah kondisi nasional yang masih dibayangi berbagai bencana lingkungan, sehingga memunculkan pertanyaan publik mengenai arah dan tujuan pengelolaan sumber daya alam.

“Ketika masyarakat menghadapi krisis ekologis, proyek justru terus berjalan tanpa kejelasan tanggung jawab,” tulis Bukhari dalam unggahannya, seraya menyinggung dugaan lambannya respons institusi negara terhadap persoalan perizinan dan dampak lingkungan yang ditimbulkan.

Ia juga menyoroti belum terbukanya laporan pertanggungjawaban sejumlah proyek hingga mendekati awal tahun 2026. Menurutnya, sikap saling lempar tanggung jawab antarlembaga hanya memperdalam kekecewaan publik. Tagar #GeothermalUntukSiapa dan kritik terhadap apa yang disebutnya sebagai “misi kerakusan” PT STM pun ramai digunakan warganet sebagai bentuk protes.

Tak hanya PT STM, perhatian masyarakat juga tertuju pada proyek geothermal yang dijalankan oleh entitas lain, seperti PT STG. Warga mempertanyakan transparansi pelaksanaan proyek, proses konsultasi publik, serta potensi dampak ekologis yang dinilai belum disampaikan secara terbuka dan menyeluruh.

Hingga saat ini, belum ada pernyataan resmi yang menyebutkan kondisi darurat akibat proyek-proyek tersebut. Namun, opini publik terus menghangat karena masyarakat menilai pelaksanaan proyek berjalan lebih cepat dibanding dialog dan pelibatan warga yang seharusnya menjadi dasar.

Gelombang kritik ini mencerminkan kekecewaan yang lebih luas terhadap tata kelola sumber daya alam di Indonesia. Publik menilai pola lama—minim keterbukaan, partisipasi masyarakat yang terbatas, serta janji kesejahteraan yang belum terwujud—masih terus berulang.

Dalam penutup pernyataannya, Bukhari menggambarkan keresahan warga dengan nada emosional. Ia menilai bahwa masyarakat kerap ditinggalkan untuk menanggung dampak setelah sumber daya dieksploitasi, sementara perusahaan dan pemangku kebijakan seolah tetap berjalan tanpa beban moral.

“Ketika tanah retak dan air menghilang, kami yang tinggal menanggung akibatnya,” tulisnya, menegaskan bahwa kritik ini bukan semata kemarahan personal, melainkan jeritan kolektif di tengah duka ekologis bangsa. (Nasaruddin Pers)

Please follow and like us:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Enjoy this blog? Please spread the word :)