KNPI Pangandaran Dorong Optimalisasi BUMDes untuk Jamin Keberlanjutan Program Makan Bergizi
PANGANDARAN, global aktual – Dewan Pengurus Daerah Komite Nasional Pemuda Indonesia (DPD KNPI) Kabupaten Pangandaran menggelar Focus Group Discussion (FGD) bertajuk “Memastikan Ekonomi Berputar di Desa Melalui Optimalisasi Peran BUMDes sebagai Pusat Distribusi Bahan Baku Lokal, Demi Menjamin Keberlanjutan dan Kualitas Program Makan Bergizi”, Senin (15/12/2025).
Kegiatan yang berlangsung di Aula Kantor Kecamatan Parigi tersebut diikuti oleh berbagai pemangku kepentingan strategis, mulai dari unsur pemerintah daerah, organisasi desa, hingga pelaksana program. FGD ini bertujuan memperkuat peran Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sebagai simpul distribusi bahan baku lokal untuk mendukung Program Makan Bergizi (MBG) agar berkelanjutan dan berdampak langsung pada perekonomian desa.
FGD dihadiri oleh perwakilan Yayasan Dapur MBG Kecamatan Langkaplancar, APDESI Kecamatan Parigi, Forum BUMDes Kecamatan Parigi, serta sejumlah Organisasi Perangkat Daerah (OPD), di antaranya Dinas Pertanian, Dinas Kelautan dan Perikanan, Dinas Sosial Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (Dinsos PMD), Dinas Perizinan, serta Dinas Perdagangan dan Koperasi Kabupaten Pangandaran.
Dalam diskusi tersebut, Sekretaris KNPI Pangandaran, Tian Kadarisman menekankan pentingnya sinergi lintas sektor agar kebutuhan bahan baku Program MBG dapat dipasok langsung dari desa melalui BUMDes. “Skema ini dinilai mampu memotong rantai distribusi, menjaga kualitas bahan pangan, sekaligus memastikan perputaran ekonomi tetap berada di tingkat lokal,”kata Tian.
Tian berharap, FGD ini dapat menghasilkan rekomendasi konkret bagi pemerintah daerah, DPRD, serta pemangku kebijakan lainnya, guna memastikan Program Makan Bergizi tidak hanya berjalan secara administratif, tetapi juga menjadi instrumen strategis pemberdayaan ekonomi desa yang berkelanjutan.
Perwakilan Forum BUMDes Kabupaten Pangandaran menyampaikan bahwa BUMDes memiliki potensi besar sebagai agregator hasil pertanian, perikanan, dan peternakan desa, asalkan didukung regulasi, perizinan, serta kepastian pasar yang berkelanjutan.
Sementara itu, Kepala Desa Selasari, Tugaswara menegaskan komitmen pemerintah daerah untuk mendukung penguatan kelembagaan BUMDes, termasuk dari aspek perizinan, pembinaan usaha, dan kemitraan.
“Kewajiban penggunaan bahan pangan lokal juga menjadi catatan. Meski telah diarahkan agar pasokan roti, daging, telur, dan kebutuhan dapur lainnya bersumber dari pelaku usaha lokal, fakta di lapangan menunjukkan sebagian bahan masih didatangkan dari luar daerah. Kondisi ini dinilai bertentangan dengan tujuan program yang seharusnya mendorong pertumbuhan ekonomi lokal secara nyata,”ujarnya.
Masalah perizinan menurut Ugas turut memperumit pelaksanaan. Sejumlah kebutuhan dasar seperti gas dan air disebut tidak dapat digunakan apabila tidak berasal dari penyedia resmi yang memiliki izin. “Situasi ini membuat pelaksana di lapangan kerap terjebak pada dilema antara kebutuhan operasional dan kepatuhan regulasi,”tegasnya.
Forum rapat juga menyoroti belum kuatnya kehadiran negara dalam mengamankan kebijakan program ini secara hukum. Lemahnya pengawalan regulasi dinilai berpotensi membuka ruang penyimpangan, mulai dari pola belanja, kemitraan, hingga kualitas layanan.
Perwakilan Yayasan Dapur MBG, Anton Rahanto menyampaikan Pelaksanaan Program Dapur Gizi Nasional di daerah dinilai masih menyimpan persoalan serius meski secara anggaran dan tujuan dinyatakan berjalan.
“Lemahnya koordinasi lintas sektor serta belum matangnya standar operasional prosedur (SOP) menjadi sorotan utama dalam rapat evaluasi yang melibatkan Satgas, pengelola yayasan, mitra pelaksana, dan pemerintah daerah,”tegasnya.
Dalam forum tersebut terungkap bahwa hingga menjelang akhir September, sejumlah regulasi teknis, termasuk petunjuk teknis (juknis) pelaksanaan, belum sepenuhnya dipahami dan dijalankan secara seragam. “Akibatnya, pelaksanaan program di lapangan dinilai berjalan lebih cepat dibanding kesiapan aturan yang seharusnya menjadi dasar hukum,”terang Anton.
Anton menambahkan, persoalan krusial juga muncul pada pola kemitraan. Perbedaan peran antara yayasan dan mitra belum sepenuhnya dipahami, sehingga memunculkan potensi tumpang tindih kewenangan. “Padahal, mitra yang dilibatkan seharusnya telah memiliki legalitas formal, izin usaha, dan perjanjian kerja sama yang jelas untuk menjamin akuntabilitas anggaran negara,’cetusnya. (Hrs)

